Selasa, 31 Juli 2012

MAKNA TABU DALAM PANDANGAN MASYARAKAT ADAT (SUKU) MIYAH, KABUPATEN TAMBRAUW-PAPUA BARAT.

0 komentar

***Oleh : Mr. Marisyan***
Tambrauw adalah kabupaten baru di wilayah provinsi papua barat yang dimekarkan dari kabupaten induk manokwari dan sorong. Ibukotanya di Fef, namun untuk sementara aktifitas pemerintahan berjalan di sausapor, bagian pesisir wilayah tambrauw.
Tambrauw merupakan wilayah/kawasan dengan tutupan hutan yang luas dan sebagian besar masih utuh, belum tersentuh oleh aktifitas manusia dan aktifitas eksploitasi. Hutan alamnya yang masih luas itu kaya akan keanekaragaman hayati.
Fungsi hutan bagi masyarakat adat di tambrauw sama dengan masyarakat adat yang lain di tanah papua, yaitu sebagai lumbung pangan, tempat mencari makan, tempat berburu, dan sebagai tempat bersemayamnya roh leluluh nenek moyang dan tempat tinggal penguasa alam semesta (Tuhan), sehingga hutan sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Sejak dahulu hingga kini dan ke depan, dengan melihat tahapan perkembangan dan kebiasaan hidup masyarakatnya, menggambarkan dengan jelas tentang sejauhmana fungsi dan manfaat dari keberadaan hutan, bahwa hutan sangat berperan penting bagi kelangsungan hidup masyarakat adat papua.
Wilayah tambrauw yang luas dan bergunung-gunung, terbentang dari timur di Manokwari hingga barat di Sorong di wilayah kepala burung tanah papua, adalah warisan leluhur dan sang pencipta kepada manusia yang hidup dan mendiami wilayah tersebut sejak dunia diciptakan. Mereka ini yang disebut sebagai pemilik ulayat. Masyarakat adat yang memiliki hak atas tanah dan sumber daya lainnya di wilayah Tambrauw terdiri atas 4 komunitas suku, yaitu Suku Mpur, Suku Miyah, Suku Ireres, dan Suku Abun. Suku Byak yang mendiami wilayah pesisr Tambrauw bukan sebagai pemilik ulayat, tetapi sebagai penghuni saja. Keberadaan suku byak berdasarkan keterangan yang didapat, disebabkan oleh peristiwa koreri (mengejar manarmaker-Tuhan dalam kepercayaan adat masyarakat byak).
Setiap suku bangsa di dunia memiliki bahasa, kepercayaan, adat istiadat, kebudayaan, corak produksi yang berbeda satu dengan yang lainnya, begitu pula suku-suku di papua yang berjumlah ratusan, tentu masing-masing berbeda. Kebudayaan itu secara garis besar dibedakan menjadi dua; kebudayaan berwujud fisik,(materi) dan kebudayaan berwujud abstrak (nilai/pandangan hidup). Wujud kebudayaan fisik seperti cawat, kain dada. Tombak, panah, tato, rumah, tikar, noken, dll. Sedangkan kebudayaan yang berwujud nila seperti; system kepercayaan/keyakinan, nasehat, filsafat hidup, dll. Dalam tulisan ini, saya hanya menulis tentang budaya masyarakat/suku miyah dalam bentuk nilai/pandangan hidup, disamping menjelaskan sedikit tentang wilayah dan tempat hidup dari komunitas masyarakat adat di tambrauw.
Komunitas Suku Mpur tersebar di wilayah distrik mubrani, kebar dan amberbaken. Suku Mpur yang mendiami wilayah distrik amberbaken dan mubrani biasa disebut atau dikenal dengan nama Manempur.
Komunitas suku miyah mendiami wilayah distrik senopi, distrik miyah, distrik fef, dan distrik sujak. Sebagaian yang lain hidup di wilayah pesisir di kampung Wau, Weyaf, Waibem, dan Saubeba distrik Abun. Masyarakat miyah yang mendiami wilayah pesisr berdasarkan cerita orang tua, disebabkan karena pertukaran (barter), perkawinan masuk, dan terutama sekali karena peritiwa hongi. besar-besaran yang pernah terjadi di pedalaman tambrauw (sekitar wilayah miyah, fef dan sujak) antara dua saudara kakak-adik; Hauh Titit dan Imes Titit, karena masalah perempuan (istri) atau perselingkuhan yang terjadi antara Hauh Titit dengan istri dari Imes Titit. Peristiwa hongi ini dikenal dengan nama Atyat Sakof-Tinggow, dan terjadi sekitar tahun 1940-an.
Komunitas suku ireres mendiami wilayah distrik kebar bagian selatan, kampung asiti distrik senopi, dan wilayah selatan distrik miyah di kampung Miri, Meys. Suku ireres merupakan komunitas suku yang wilayah adatnya sebagian berada di tambrauw, sebagaian di maybrat (aifat timur) dan sebagain di bintuni, berbatasan dengan suku moskona.
Suku abun adalah pemilik ulayat di sebagian besar wilayah pesisir tambrauw, dari kampung waibem distrik abun hingga daerah warmanen, perbatasan sausapor dan moraid wilayah adat suku moy, kabupaten sorong. Ke arah pedalaman, wilayah adatnya membentang hingga berbatasan dengan wilayah adat suku miyah di distrik sujak, distrik miyah dan distrik fef. Komunitas suku abun hidup dan tersebar di distrik abun, distrik kwoor, distrik sausapor, distrik yembun, sebagain distrik sujak dan fef. Suku abun yang mendiami wilayah pedalaman disebut/dikenal dengan nama Yembun
Yang Tabu (pemali) bagi Masyarakat Miyah
Ada beberapa hal yang dimaknai sebagai tabu (pemali) atau secara turun temurun dipercayai untuk tidak dilakukan atau dilanggar bagi masyarakat miyah adalah sebagai berikut :
1. Orang atau perempuan yang menolong persalinan tidak boleh pergi ke kebun karena tanamannya tidak sehat, dimakan hama, atau panenannya tidak berhasil. Orang Miyah beranggapan bahwa orang atau perempuan tersebut dianggap kotor karena memegang ari bayi serta pada waktu menolong ibu yang melahirkan tentunya tangan atau anggota tubuhnya yang lain pasti terkena darah, sehingga orang yang menolong persalinan tersebut harus tinggal di rumah selama tiga hari, setelah itu barulah ia boleh pergi ke kebun.
2. Perempuan yang sedang datang bulan juga pergi ke kebun atau ladang yang baru dibuka, hal ini dipercaya bahwa kelak tanamannya terkena hama, panenan tidak berhasil, sehingga perempuan tersebut diharapkan tetap tinggal di rumah atau kampung sampai ia benar-benar bersih baru bisa pergi ke kebun atau ladang tersebut.
3. Orang-orang tidak boleh kerja kebun atau menanam sesuatu pada hari Minggu, hal ini dipercaya bahwa pada hari Minggu orang-orang harus ke gereja dan beribadah, sehingga semua pekerjaan yang membutuhkan tenaga atau fisik tidak boleh dilakukan pada hari itu.
4. Anak-anak kecil tidak boleh memegang kepala orang dewasa atau orang tua, hal ini dipercaya bahwa kelak setelah anak itu dewasa hidupnya akan kacau, nakal, suka berbuat keonaran dalam masyarakat.
5. Anak-anak kecil tidak boleh dilangkahi oleh orang dewasa atau orang tuanya, hal ini dipercaya bahwa orang dewasa itu secara tidak langsung telah menghalangi pertumbuhan anak itu, sehingga seorang anak yang dilangkahi pertumbuhannya menjadi lambat. Sehingga diharapkan orang yang telah melangkahi anak tersebut harus melangkah berlawanan lagi, atau melangkah kembali ke tempat di mana awalnya orang itu berdiri.
6. Orang yang selesai memancing ikan (apabila berhasil mendapat ikan), tidak boleh pergi ke kebun yang ditanami kacang tanah atau padi gogoh, hal ini dipercaya bahwa bau ikan itu akan menyebabkan tikus akan mengerat padi atau babi hutan akan memakan kacang tanah tersebut. Dan tentunya akan gagal panen atau hasilnya tidak memuaskan.
7. Suami isteri yang telah bercerai tidak boleh bertemu muka atau bertegur sapa, apabila secara tidak sengaja mereka berpapasan di tengah jalan, maka salah satu dari mereka harus menghindar dengan bersembunyi atau memalingkan muka dari orang tersebut. Hal ini dilakukan untuk menutup rasa malu di antara keduanya.
8. Orang yang meninggal karena mengalami kecelakaan, misalnya mati tenggelam, digigit ular atau babi hutan, tertindis pohon, jatuh dari pohon, dan lain-lain, maka tempat terjadinya musibah tersebut tidak boleh lagi dilewati orang sampai harus dibuat adat. Hal ini dipercaya, bahwa apabila ada orang yang melewati tempat tersebut akan mengalami musibhan yang sama dengan orang yang lebih dulu mengalaminya atau akan mengalami nasib yang sama dengan orang yang telah meninggal tersebut.
9. Perempuan dewasa atau perempuan yang sudah datang bulan tidak boleh memegang parang yang digunakan oleh laki-laki untuk memasang jerat. Hal ini dipercaya bahwa usahanya akan sia-sia atau jeratnya tidak akan kena binatang.
10. Anak-anak kecil tidak boleh makan daging kus-kus pohon, hal ini dipercaya bahwa anak tersebut nantinya selalu sakit-sakit, atau suka cengeng/menangis.
Sekian !!!!
** Pemuda Tambrauw**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar